RSS

Tidak Larut Bersedih, Mengukur Nikmat dengan Musibah

13 Aug

Dipostingan terdahulu kami telah banyak membahas kiat-kiat menggapai hidup bahagia. Sebagai tambahan, berikut adalah poin-poin bermanfaat yang mestinya kita tanamkan dalam hati kita sehingga kita tidak terus berlarut-larut dalam kesedihan:

[1]. Orang yang berakal mengetahui bahwa kehidupan dia yang sebenarnya adalah kehidupan (yang dia jalani dengan) bahagia dan ketenangan. Kehidupan ini pendek sekali, maka tidak sepantasnya dia memperpendeknya dengan kesedihan dan larut dalam kesusahan. Sebab, hal ini bertentangan definisi kehidupan yang sebenarnya. Oleh karenanya dia kikir untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya buat bersedih dan bersusah saja. Dalam hal ini tidak berbeda antara orang yang baik dan orang yang jahat. Hanya saja orang mukmin dapat merealisasikan dengan lebih sempurna dan dengan balasan pahala yang lebih di dunia dan akhirat.

[2]. Seorang hamba (apabila tertimpa musibah), hendaklah membandingkan antara nikmat-nikmat yang dia dapatkan, baik dalam urusan agama atau dunia dengan musibah yang sedang menimpanya. Dengan membandingkannya, akan jelas baginya betapa banyak nikmat yang dia dapatkan dan tertutupilah musibah yang menimpanya.

Hendaklah dia juga membandingkan antara kemungkinan bahaya yang akan menimpanya dengan banyaknya kemungkinan akan dapat selamat darinya. Janganlah sampai kemungkinan yang lemah dapat mengalahkan kemungkinan yang kuat dan banyak. Dengan demikian, akan menghilangkan kesedihan dan perasaan takutnya.

Hendaklah dia memperkirakan kemungkinan paling besar yang dapat menimpanya., kemudian menyiapkan sikap mental untuk menghadapinya bila memang terjadi. Berusaha mencegah apa-apa yang masih belum terjadi dan menghilangkan atau meminimalisir musibah yang sudah terjadi.

[3]. Termasuk hal-hal yang bermanfaat adalah kita harus tahu bahwa gangguan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita (berupa kata-kata kotor, celaan) tidak akan membahayakan kita, tetapi akan membahayakan dia sendiri. Kecuali jika kita menyibukkan diri dengan memperhatikannya, menenggelamkan perasaan kita dengannya, saat itu gangguan tersebut akan membahayakan kita sebagaimana juga membahayakan mereka. Bila kita tidak mengindahkannya, sedikitpun celaan tersebut tidak akan membahayakan.

[4]. Ketahuilah, kehidupan kita mengikuti pikiran kita. Bila pikiran kita berisi dorongan untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri kita, baik dalam hal agama maupun dunia, maka kehidupan kita akan menjadi baik dan bahagia. Begitu pula dengan hal yang sebaliknya.

[5]. Termasuk hal yang berguna untuk mengusir kesedihan adalah menguatkan keinginan untuk tidak mengharapkan terima kasih selain dari Allah Ta’ala. Bila kita berbuat baik pada orang yang mempunyai atau tidak mempunyai hak pada kita, maka sebenarnya itu adalah mu’amalah kita dengan Allah Ta’ala. Janganlah kita mengharapkan ucapan terima kasih pada orang yang kita telah berbuat baik kepadanya. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah (semata), kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Hal ini utamanya dilakukan saat kita bermu’amalah dengan keluarga, anak-anak kita dan semua orang yang mempunyai hubungan kuat dengan kita. Bila kita membulatkan tekad untuk menyingkirkan musibah dari mereka, maka sungguh kita telah menyenangkan diri mereka dan diri kita juga.

Bersambung…

Saduran kitab kecil (kutaib) dengan judul asli “Al-Wasaail Al-Mufiidah Lil Hayaatis Sa’iidah” yang ditulis oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy. Edisi Indonesia: “Menggapai Kehidupan Bahagia”.

 

Tags: , ,

Leave a comment